Masih kurenungkan, terus kupanjatkan, kuusahakan, hingga akhirnya kupasrahkan. Bukan untuk memaksanya mencabut keputusan, tapi sebatas tolok ukur pantas atau tidak mimpi itu kuperjuangkan. Keras, dan tanpa toleransi sama sekali, ibarat jari tangan berkuku panjang yang mencakar lalu menyakiti, tanpa pikir panjang yang ia potong jarinya bukan kukunya. Dangkal menurutku, sesuatu yang patah susah untuk menyatu kembali, sedangkan yang sakit masih bisa sembuh lalu membaik. Bukan begitu menurutku cara mengatasi masalah, mungkin faktor kedewasaan atau sudah menjadi sifat yang mengarat. Untung dewasaku menerima dengan lapang dada, mungkin inilah takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah, kenyataan yang begitu pahit harus kutelan dengan paksa.
Aku ingin sekali beranjak, biar dibilang tahu malu. Tapi rasanya enggan pergi begitu saja. Rutinitasku berantakan, ponselku hening tak ada lagi sapaan setiap pagi. Dunia berganti, aku mati, hidup lagi, dalam dunia baru, tanpamu.
Kau tahu kenapa aku enggan pergi? sebab kau mengusirku atas dasar kesalahanku, dan rasa bersalahku menahan menuntut perbaikan. Sepatah apapun, aku tetap bisa berdiri tegap, tapi kecewamu membuatku enggan pergi bahkan dengan merangkak sekalipun. Ini bukan risiko yang seharusnya kutanggung, tak seharusnya aku pergi karena kesalahanku. Aku hanya akan pergi disaat kau memiliki wajah baru yang membuatmu lebih bahagia, karena lebih baik kau berkhianat lalu pergi dengan alasan ada yang lain daripada kau pergi karena kesalahanku. Dulu aku datang dengan ketulusan dan ingin pula langkah pergiku diiringi dgn ketulusan bukan rasa bersalah dan penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar